Jual Nisan Batu Asli

Pemesanan Batu Nisan Dekorasi Pusara Makam Kijing Pliser.

Dekorasi pusara makam.

Menerima pemesanan Pemesanan Batu Nisan Dekorasi Pusara Makam Kijing Pliser pembuatan kerajinan pusara makam dari bahan material batu asli gunung merapi.

Pusara makam batu nisan kijing plisir
Pusara makam batu nisan kijing plisir
Plisir nisan batu kijing maesan pembuatan
Pusara makam kijing nisan batu
Pusara makam batu besar utuh kijing plisir nisan
Nisan kijing batu pusara makam
Pusara makam kijing maesan plisir batu nisan
Pusara makam kijing maesan plisir batu nisan
Pusara makam pemesanan nisan batu kijing plisir maesan
Pusara makam pemesanan nisan batu kijing plisir maesan
Jual batu nisan pusara makam kijing
Jual batu nisan pusara makam kijing

Batu nisan plisir kijing maesan dekorasi pada tempat persemaian pemakaman.

Penanda makam untuk kunjungan tempat agar mudah di temukan dan juga di ingat untuk berziarah ke makam.

Kijing /Pusara/nisan/ makam/maesan batu alam adalah patok untuk menandai makam/kuburan.

Video 1 ;

Video 2 ;

Jual Nisan Batu Asli
Pemesanan Pusara Makam Batu
Pusara makam premium marmer granit
Kijing kerajinan plisir pusara makam batu marmer granit

Kijing /Pusara/nisan/ makam/maesan batu alam biasanya terbuat dari bahan yang tahan lama seperti batu, cor semen, keramik dan teraso.

Bentuk kijing yang kami produksi, kebanyakan mengikuti bentuk yang sudah ada dengan ukiran motif flora.

Kijing batu candi ini dibuat sedemikian rupa indahnya sebagai wujud kita dalam menghormati leluhur.

Oleh karena itu kami memilih bahan batu candi sebagai bahan utama pembuatan kijing/nisan ini.

Kijing yang kami produksi berbahan batu alam/batu candi/ batu lava.

Kijing ini terbuat dari batu solid yang dibentuk dengan cara dipahat dan di ukir dengan alat pahat dan mesin pemotong.

Batu nisan ini memiliki bobot yang sangat berat, sehingga tidak mudah bergeser.

Setiap orang yang hidup suatu saat nanti pasti akan menemui ajalnya. Siapapun tidak bakalan bisa mengelak untuk hal yang satu ini.

Menjemput kematian kadang merupakan hal yang menyedihkan: meninggalkan anak, meninggalkan suami atau istri, meninggalkan keramat, atau meninggalkan cucu.

Ada banyak budaya dan ada yang musti dilangsungkan dalam prosesi kematian ini. Demikian pula ketika sudah dikubur di pemakaman.

Sebagai penanda akan kematian seseorang, adat-istiadat yang umum dilakukan di Indonesia adalah mendirikan dan membangun Pusara diatas makam orang yang dicintainya, lengkap dengan nama, tanggal lahir, dan tanggal kematian.

Ini berguna buat mengingatkan anak cucu mereka kelak tentang siapa leluhurnya dulu.

Kalau dalam ajaran Jawa (Kejawen) atau adat jawa, pada umumnya pemasangan pusara ke makam leluhurnya ketika kematian leluhurnya itu sudah sampai 1000 hari sejak dikuburkannya.

bisa memesan bentuk dan ukiran Nisan / Kijing sesuai dengan yang anda inginkan beserta ukurannya.

Semua bahan yang digunakan berasal dari Batu Candi atau Batu Alam Gunung Merapi.

Special untuk papan nama, tanggal lahir dan kematian, bisa dipesan khusus dengan batu marmer yang ditulis atau langsung dipahat di batu candi itu sendiri. Ini sesuai permintaan saja.

INTISARI

Artikel ini adalah hasil penelitian tentang peninggalan warisan kebudayaan fisik yang juga merupakan produk kesenian peninggalan kejayaan kerajaan Islam di abad XVII-XIX.

Oleh karena itu ada dua aspek kesenian yang perlu diperhatikan pada analisis bentuk, fungsi, dan makna ornamen makam, yaitu konteks estetika atau penyajiannya yang mencakup bentuk dan keahlian yang melahirkan gaya, kedua adalah konteks makna (meanings), yang mencakup pesan dan kaitan lambang-lambangnya (symbolic value).

Penelusuran nilai estetika pada bentuk dan fungsi ornamen makam adalah untuk menggali makna yang mengendap di balik sebuah karya, dengan demikian eksistensi ornamen dianalisis berdasarkan interaksi dan interpretasi analisis melalui pendekatan estetika arkeologi.

Interaksi analisis dilakukan untuk mendapatkan intersubjektif dari data-data yang dihasilkan dengan menggunakan riset etik atau berdasarkan data pada kajian pustaka atau berdasarkan pengetahuan dan pendapat dari peneliti.

Tujuan analisis dilakukan untuk mengetahui bentuk, fungsi dan makna ornamen di kompleks makam raja-raja Bugis, sehingga manfaat dari analisis diketahui bahwa eksistensi ornamen makam adalah selain sebagai identitas budaya masyarakat setempat juga sebagai gudang informasi yang dikomunikasikan melalui simbol-simbol visual dalam pola atau motif pada ornamen makam.

Ornamen Makam sebagai Manifestasi Kebudayaan Bugis Sulawesi Selatan terdiri atas tiga etnis suku bangsa, Toraja, Makassar dan Bugis, ketiganya memiliki potensi budaya, kesenian, unsur-unsur tradisi serta peninggalan sejarah dan prasejarah (Purbakala).

Etnis Bugis adalah suku bangsa yang memiliki populasi penduduk dan wilayah terbesar di daerah Sulawesi Selatan, sehingga masyarakat Bugis sangat dikenal sebagai gudang ajaran-ajaran dan norma-norma yang dipersatukan dalam kelompok masyarakatnya, seperti adat istiadat, agama dan sistem kepercayaan, status sosial cita rasa keindahan (estetika), serta keterampilan, yang senantiasa berpedoman kepada ajaran nenek moyang masa lalu yang saat ini banyak dipengaruhi oleh ajaran Islam.

Maka dalam setiap kebudayaan yang terkandung di dalamnya seperti norma-norma dan nilai-nilai kehidupan tersebut sebagai menjadi pedoman bagi tiap individu pendukung kebudayaan tersebut, sehingga ajaran-ajaran, nilainilai dan norma-norma pada masyarakat Bugis terintegrasi menjadi unsur-unsur kearifan lokal (lokal wisdom).

Kedudukan kearifan lokal begitu sentral, karena merupakan kekuatan yang mampu bertahan terhadap unsur-unsur yang datang dari luar dan mampu pula berkembang untuk masa-masa mendatang.

Sulawesi Selatan, khususnya pada wilayah etnis Bugis terdapat beberapa situs peninggalan sejarah dan kepurbakalaan yang sangat menarik, dan merefleksikan potensi budaya tersebut.

Salah satu di antaranya adalah makam raja-raja peninggalan kepurbakalaan Islam kerajaan Bugis pada abad XVII-XIX, seperti yang terdapat pada kompleks makam kuno raja-raja Lamuru dan Bone di Kabupaten Bone serta kompleks makam kuno Jera’ Lompoe di Kabupaten Soppeng.

Keberadaan makam raja-raja Bugis menjadi salah satu warisan kebudayaan fisik yang juga merupakan produk kesenian masa lampau.

Kesenian tidak pernah lepas dari masyarakat sebagai salah satu unsur penting kebudayaan, dan kesenian adalah ungkapan kreativitas (Umar Kayam, 1981:38). Oleh karena itu ada dua aspek kesenian yang perlu diperhatikan, yaitu konteks estetika atau penyajiannya yang mencakup bentuk dan keahlian yang melahirkan gaya.

Yang kedua adalah dalam konteks makna (meanings), yang mencakup pesan dan kaitan lambang-lambangnya (symbolic value). Dalam rangka konteks tersebut pendekatan masalah kesenian hendaknya dipahami.

Tidak mungkin orang bicara kesenian tanpa memperhatikan bentuk, wujud, dan gayanya. Begitu pun sebaliknya, tidak mungkin orang bicara soal kesenian tanpa memperhatikan pesan-pesan yang terkandung secara simbolis, di samping kegiatan kesenian itu sendiri merupakan wujud fungsionalisasinya dari sub sistem kebudayaan tertentu (Budhisantoso, 1994:3).

Hadirnya kesenian di tengah masyarakat adalah untuk memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani manusia, yang hampir di setiap aktivitas manusia dalam memenuhi kebutuhan tersebut, senantiasa dipenuhi dengan kehadiran bentuk kesenian.

Salah satu cabang kesenian itu adalah seni rupa yang dapat dilihat dari segi dimensi ungkapannya yaitu perpaduan antara garis, warna, serata bidang atau ruang, dan dari sekian banyak cabang seni rupa salah satu di antaranya adalah ornamen.

Ornamen merupakan salah satu produk kebudayaan, keberadaan ornamen hadir seiring dengan terciptanya kebutuhan manusia. Pada awalnya ornamen merupakan bagian dari ritual.

Ornamen adalah gambaran ekspresi manusia menaklukkan alam, dalam hal ini tumbuhtumbuhan dan binatang sebagai cerminan pada lukisan-lukisan di dinding gua manusia purba.

Ornamen juga merupakan ungkapan rasa dari manusia akan sebuah nilai keindahan (Kosasih, 1987:16-18).

Kaitannya dengan seni rupa, ornamen dapat dilihat sebagai bagian dari sebuah kegiatan berkesenian.

Esensi seni yang mengutamakan keindahan merupakan dasar dari hadirnya budaya ornamen dan sebagai jawaban atas kebutuhan manusia menghadirkan nilai-nilai keindahan.

Dalam kesenian tradisional seperti ornamen makam, karya seni rupa yang dicipta tidak untuk keindahan semata, sebaliknya tidak ada benda pakai yang dibuat semata-mata fungsionalnya saja.

Aspek keindahan pada produk seni bukan sekedar memuaskan mata, melainkan berpadu dengan kaidah moral, adat kepercayaan, dan sebagainya, sehingga memiliki makna sekaligus indah (Tabrani, 1999:19).

Pada hakekatnya ornamen makam rajaraja Bugis di Sulawesi Selatan tidak sekedar menjadi suguhan indera mata saja (visual), atau sesuatu yang ditempatkan pada sisi makam dan nisan guna mendapatkan keindahan semata, tetapi lebih dari itu ornamen makam di kompleks makam raja-raja Bugis tidak lepas dari unsur-unsur kearifan lokal (local wisdom) dan cerminan kebudayaan setempat, serta konteksnya sebagai perangkap ritual berupa ragam hias dan motif-motif yang mengandung makna filosofis religius nenek moyang masa lalu (masa pra-Islam sampai masuknya Islam).

Secara umum bahwa keberadaan makam raja-raja Bugis selain sebagai tempat peristirahatan terakhir atau tanda dan alat legitimasi bagi suatu dinasti yang berkuasa, bahkan juga sebagai bentuk penghargaan (keagungan) rakyat terhadap rajanya sebagai orang yang dipandang dan dihormati.

Dengan demikian, berdasarkan pemikiran dan atas pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, menjadi sebuah asumsi yang cukup kuat terhadap kecenderungan konsep pemikiran yang paling signifikan dan menonjol tentang esensi kehidupan sosial budaya, serta sistem budaya dan kesenian suatu suku bangsa. Maka dari itu, keberadaan unsur-unsur lokal dalam kerangka budaya yang melatar belakangi ketertarikan dalam memahami lebih jauh keberadaan ornamen makam raja-raja Bugis di Sulawesi selatan.

Konsentrasi analisis diarahkan pada studi terhadap ornamen makam di kompleks makam raja-raja Bugis, substansinya bertujuan untuk mengungkap secara analitis dan deskritif apa yang menjadi pokok permasalahan, yaitu bagaimana bentuk, fungsi dan makna ornamen makam yang terdapat di kompleks makam raja-raja Bugis.

Oleh karena itu setiap permasalahan dalam artikel ini, yaitu ada pada substansi penelitian yang terkait dengan pemahaman keberadaan ornamen, sehingga diharapkan dapat memberikan informasi dan gambaran mengenai keberadaan bentuk, fungsi, dan makna ornamen makam di kompleks makam raja-raja Bugis yang komprehensif.

Untuk itu agar dapat memberi eksplanasi keberadaan dan interpretasi terhadap makna pada pola dan motif dalam ornamen makam, maka pendekatan estetika diarahkan pada masa yang berhubungan dengan makam raja-raja Bugis.

Berdasarkan hal tersebut estetika arkeologi sangat representatif diimplementasikan untuk membangun eksplanasi yang konstruktif, terlebih pada bentuk ornamen terdapat dua struktur bentuk, yaitu tuntunan (ajaran) dan tontonan.

Olehnya itu dalam menganalisis peninggalan budaya megalitik, estetika arkeologi hanya dipahami dalam konteks fungsi, yaitu sakral, setengah sakral, dan profan (Haris Sukendar, 1987:38).

Kemudian pada analisis bentuk dijelaskan oleh Dharsono (2004:34) bahwa kategori bentuk dalam mendukung karya seni ada dua macam yang pertama adalah bentuk visual (visual form) yaitu bentuk fisik dari sebuah karya seni atau kesatuan dari unsur-unsur pendukung karya seni tersebut. Selanjutnya adalah bentuk khusus (special form), yaitu bentuk yang tercipta karena adanya hubungan timbal balik antara nilai-nilai yang dipancarkan oleh fenomena bentuk fisik terhadap tanggapan kesadaran emosionalnya.

B. Bentuk dan Fungsi Ornamen Makam Kompleks makam raja-raja Bugis merupakan salah satu peninggalan kebudayaan fisik dari masa kejayaan Islam di wilayah Bugis.

Makam-makam raja memiliki banyak unsur-unsur esensial yang dapat mengantar kita dalam ruang apresiasi yang positif terhadap eksistensinya, sebab merupakan pengejewantahan sistem norma dan adat dari warisan peninggalan ajaran nenek moyang masyarakat Bugis.

Namun yang tidak kalah pentingnya sistem kesenian sebagai unsur utama dalam mengungkapan cita rasa keindahan yang dapat kita kagumi, sebagai suatu hasil karya manusia pendukung kebudayaan yang sarat dengan nilai-nilai estetika.

Adanya sifat dasar manusia yang ingin mengungkapkan jati diri sebagai mahluk yang bermoral, berselera, berakal, dan berperasaan merupakan salah satu kebutuhan manusia yang tergolong dalam kebutuhan intgratif, seperti menikmati keindahan, mengapresiasi, serta mengungkapkan perasaan keindahan (estetis).

Mengacu pada pendapat Noryan Bahari (2008:45) Kebutuhan estetika sama atau serupa dengan pemenuhan kebutuhan primer dan sekunder yang dilakukan manusia melalui kebudayaannya.

Dalam memenuhi kebutuhan estetik ini, kesenian menjadi bagian integral yang tidak terpisahkan dengan kebudayaan.

Kesenian merupakan unsur pengikat yang mempersatukan pedoman-pedoman bertindak yang berbeda menjadi satu desain yang utuh, menyeluruh, dan operasional, serta dapat diterima sebagai sesuatu yang bernilai.

Estetika dan sistem simbol sebagai bagian dari kebudayaan, merupakan pedoman hidup bagi masyarakat dalam melakukan kegiatan yang isisnya adalah perangkat model kognisi, sistem simbolik atau pemberian makna yang terjalin secara menyeluruh dalam simbolsimbol yang ditransmisikan secara historis.

Dari segi bentuk fisik, makam terdiri dari jirat, nisan dan gunungan sebagai bagian dari struktur utama makam.

Nisan dan jirat menjadi satu kesatuan utuh yang saling terintegrasi menjadi sebuah tanda pusara, berikut gunungan makam yang merupakan satu elemen kesatuan jirat.

Pusara sebagai tanda bahwa di tempat tersebut ada seseorang yang dimakamkan.

Pemberian tanda pada penguburan Islam merupakan salah satu sunnah, sebagai hadits yang diriwayatkan Akhmad dan Muslim, “disunnahkan memberi tanda kubur dengan batu atau tanda lain pada bagian kepala”.

Pemberian tanda kepala berupa menhir pada masa prasejarah dan nisan pada masa Islam, secara prinsip mempunyai kesamaan, yaitu tanda adanya penguburan.

Untuk itu bentuk (form) adalah merupakan totalitas dari pada karya seni itu sendiri. Bentuk itu merupakan organisasi atau suatu kesatuan dari komposisi dengan unsur pendukung karya lainnya.

1. Bentuk Ornamen Makam Bentuk (form) adalah merupakan totalitas dari pada karya seni itu sendiri.

Bentuk itu merupakan organisasi atau suatu kesatuan dari komposisi dengan unsur pendukung karya lainnya.

a. Jenis Relief Ornamen Bentuk ornamen makam di kompleks makam menjadi elemen pendukung utama makam dan terlihat semakin khas dengan hadirnya jenis-jenis felief yang memperkaya ragam hias pada ornamen makam.

Ornamen yang terdapat pada makam, hampir semuanya berwujud relief dan memenuhi setiap sisi ruang-ruang kosong, khususnya pada nisan, jirat serta gunungan makam, relief-relif ornamen yang digunakan umumnya bercorak dekoratif dan sebagian berbentuk simbolik, namun kesemuanya diciptakan dengan menggunakan beragam jenis relief.

Teknik pahatan relief adalah bentuk yang merupakan bagian dari, atau terbenam pada suatu latar belakang, atau dapat juga disebut sebagai bentuk yang terpancar, timbul dari suatu latar belakang yang dapat dilihat sebagai sesuatu ‘relief’ (Hendrawati, 1976:80-81).

Istilah relief secara etimologi menurut (H.V. Fowler dan F.G. Fowler, 1968:104) mengatakan bahwa relief adalah berasal dari bahasa Prancis yang artinya “timbul”, namun dalam bahasa Italia disebut “relivo” dari kata “relivare” yang artinya juga timbul.

Kemudian (Pringgodigdo, 1973:11-23) menyatakan relief adalah suatu lukisan timbul yang dipahatkan pada sebuah bidang berlatar belakang yang tidak mempunyai dimensi plastis yang sebenarnya.

Jenis-jenis relief yang diaplikasikan di kompleks makam raja-rja Bugis memiliki berbagai macam tipe seperti,

  • (1) relief rendah (low relief; stacciato relievo),
  • (2) relied sedang (bas relief; bassa relivo),
  • (3) relief tinggi (high relief; alto relivo), dan
  • (4) relief cekung (uncreaux relief).

b. Motif dan Pola Ornamen Motif merupakan unsur pokok sebuah ornamen.

Melalui motif, tema atau ide dasar sebuah ornamen dapat dikenali sebab perwujudan motif umumnya merupakan gubahan atas bentuk-bentuk di alam, atau sebagai representasi alam yang kasat mata.

Akan tetapi ada pula yang merupakan hasil khayalan semata, karena itu bersifat imajinatif, bahkan tidak dapat dikenali kembali gubahangubahan suatu motif kemudian disebut bentuk abstrak (Sunaryo, 2009:14).

Sebelum menjelaskan lebih lanjut tentang pengertian motif dan pola, sebaiknya perlu ada pemahaman mengenai unsur-unsur serta prinsipprinsip dalam seni rupa, sebab seni ornamen adalah salah satu elemen dalam seni rupa, dan struktur ornamen terdiri atas motif dan pola, seperti yang digambarkan sebelumnya di atas.

Untuk itu di pandang masih dalam keterkaitan tentang pemahaman motif dan pola, maupun dalam proses implementasinya.

i. Unsur-unsur dalam Seni rupa, yang dimaksud adalah elemen-elemen dasar dalam seni rupa, seperti misalnya: titik, garis, warna, tone (nada), ruang, dan tekstur.

ii. Prinsip-prinsip dalam Seni rupa adalah merupakan hasil penyusunan atau pengorganisasian dari unsur-unsur seni rupa dalam bentuk dan komposisi tertentu.

Seperti misalnya: keseimbangan, ritme, kontras, klimaks, dan proporsi. Pemahaman dasar tentang motif dan pola dapat dijelaskan bahwa apabila terdapat sebuah garis lengkung maka garis tersebut dapat dianggap sebagai suatu motif garis lengkung, kalau garis tadi diulang-ulang secara simetris, maka diperoleh gambaran berupa pola yang di dapat dari garis lengkung tersebut, dan apabila mengalami pengulangan (repetisi) maka diperoleh sebuah pola.

Dengan demikian pengertian motif dalam kamus besar Bahasa Indonesia di jelaskan bahwa,

  • (1) sebabsebab yang menjadi dorongan; tindakan seseorang,
  • (2) Dasar pemikiran atau pendapat, dan
  • (3) Sesuatu yang menjadi pokok (cerita, gambaran, dan sebagainya).

Dengan demikian motif dapat diartikan sebagai elemen pokok dalam seni ornamen, motif merupakan bentuk dasar dalam penciptaan atau perwujudan bentuk ornamen.

Motif ini meliputi segala bentuk alami ciptaan Tuhan, seperti misalnya; motif binatang, motif tumbuhtumbuhan, motif alam (air, awan, batu-batuan), motif kaligrafi, dan lain sebagainya, sedangkan pola merupakan hasil  susunan  atau  pengorganisasian dari motif-motif tertentu dalam bentuk dan komposisi tertentu pula.

Dalam ornamen, pola merupakan bentuk pengulangan motif, artinya sejumlah motif yang diulang-ulang secara struktural dipandang sebagai pola.

Jika sebuah motif misalnya berupa sebuah garis lengkung, kemudian diatur dalam ulangan tertentu, maka susunannya akan menghasilkan suatu pola, sesuai dengan pernyataan Herbert Read (1957) bahwa pola merupakan penyebaran garis dan warna dalam ulangan tertentu.

Menurut Gustami (1980) bahwa sebuah pola yang merupakan sususnan motif, dapat diulang dan diatur lagi sehingga membentuk pola yang baru, sedangkan pola lama menjadi motifnya.

Sebagai salah satu contoh adalah pola setangkup yang banyak diaplikasikan pada kebanyakan ornamen di nisan makam datu (raja) dan kerabat kerajaan atau bangsawan (anakarung).

Pola setangkup menggambarkan corak susunan yang menunjukkan kesamaan atau kemiripan bentuk dan ukuran di antara bagian kiri dan kanan secara berbalikan sebagaimana terlihat sebuah benda dan bayangan dalam cermin yaitu sifatnya simetris.

Adapun pola dan bentuk motif hias ornamen yang terdapat di kompleks makam raja-raja Bugis tergolong variatif, dan dapat dikelompokkan secara sederhana berdasarkan motif serta pola hiasnya, seperti:

  • (1) Ornamen pola geometris;
  • (2) Ornamen pola organis dan inorganis; dan
  • (3) Ornamen pola kaligrafi.

Ketiga jenis motif hias tersebut (geometris, organis dan inorganis, serta kaligrafi) kemudian melahirkan banyak pola yang diaplikasikan pada ornamen makam berdasarkan kebutuhan dan fungsinya.

Seperti motif geometris menghasilkan pola hias segi empat belah ketupat atau dalam bahasa Bugis disebut sulapa eppa’, dan motif bunga yang disebut dengan belo-belo bunga massulapa’ atau sering juga disebut dengan sebutan bunga tabbakka (bunga yang mekar).

Sedang tumpal melahirkan motif segi tiga berderet, bagi masyarakat Bugis dinamakan belo-belo cidu’, untuk motif organis melahirkan motif yang menyarankan kehidupan, walaupun pada motif geometris juga menggambarkan jenis tumbuhan, namun pada motif organis cara merepresentasikannya agak lebih realistis seperti contohnya, bunga tanri (teratai), bua pandang, bunga panasa dan motif flora yang ujungnya melingkar, dalam bahasa Bugis disebut Lodung (Colli’ Pakue) serta motif kaligrafi.

Semuanya akan dibahas lebih lanjut jenis-jenis motif ornamen di kompleks makam raja-raja Bugis, baik yang berada di Kabupaten Bone maupun di Kabupaten Soppeng berdasarkan tipologi motif dan pola hias ornamen dalam pembahasan berikut.

c.1. Tipologi Ornamen Makam Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan pada kedua tempat terpisah, diidentifikasi bahwa bentuk motif dan pola ornamen makam yang eksistensinya tersebar di wilayah Bugis, khususnya yang terdapat di kompleks makam raja-raja Lamuru dan Jera’ Lompoe diklasifikasikan dalam tiga kelompok motif, masing-masing sebagai berikut.

i. Ornamen Pola Hias Geometris Motif hias yang dianggap paling tertua di antara motif hias lainnya adalah motif geometris, keberadaannya sudah dikenal sejak jaman prasejarah, di jaman Yunani 2000 tahun SM saat munculnya peradaban Mikenis (Mycenaea) telah muncul ornamen geometris yang dibuat dari logam.

Yang dimaksud dengan pola Geometris adalah ornamen yang bentuknya tersusun atas garis-garis dan raut atau bangun yang dikenali pada bidang geometri.

Dalam hal garis, misalnya, terdapat garisgaris lurus, zigzag, atau lengkung mekanis, sedangkan mengenai raut, terdapat bangunan persegi, lingkaran, segitiga, dan lain-lain.

Dengan demikian ornamen geometris memiliki struktur yang terdiri atas garis-garis lurus atau lengkung dan raut bersegi-segi atau lingkaran.

Dilihat dari corak motif hiasnya ornamen geometris berbentuk abstrak atau setengah abstrak, tetapi dapat pula berbentuk sesuatu yang menyerupai ojek-objek yang terdapat di alam.

Pada umumnya yang digolongkan pada ornamen geometris ialah ornamen yang memiliki motif hias bercorak abstrak atau setengah abstrak, yakni ornamen yang motif hiasnya tidak dapat dikenali kembali objek asalnya, atau yang memang benar-benar abstrak, karena tidak menggambarkan objek-objek alam melainkan semata terdiri atas unsur-unsur garis dan bidang.

Demikian pula motif hias yang melukiskan matahari, bulan, atau bintang, meskipun bentuknya goemetris tidak dikelompokkan kedalam ornamen geometris (Van der Hoop, 1984).

Kemunculan motif geometris pada ornamen makam salah satu di antaranya adalah adanya larangan terhadap seni representasional, yaitu dalam konteks agama, sebab pola-pola geometri merupakan ilmu pengetahuan yang penting dalam Islam dan figur-figur serta kostruksi-konstruksinya dirembesi oleh kepentingan-kepentingan simbolis, kosmologis, dan filosofis (Guntur 2004:162).

Motif hias pola geomeris di kompleks makam raja-raja Bugis memiliki pola hias yang beragam, ada yang berkedudukan sebagai sekedar hiasan, tetapi ada pula yang diinterpretasikan secara beragam sebagai simbol.

Dari hasil observasi di lapangan diidentifikasi bahwa pada kompleks makam rajaraja Bugis terdapat tiga jenis motif hias yang tergolong ornamen pola geometri, yaitu antara lain:

  • (1) Ornamen Motif Hias Sulapa eppa’ adalah jenis motif hias dengan pola segi empat belah ketupat yang umum digunakan oleh masyarakat Bugis sebab diyakini mengandung makna yang baik.
  • (2) Ornamen motif Belo-belo massulapa’ atau lebih dikenal lagi dengan sebutan Belo-belo bunga tabbakka, yaitu jenis bunga mekar yang berbentuk persegi empat belah ketupat.
  • (3) Ornamen Motif Hias Belo-Belo Cidu’ adalah jenis motif hias yang berbentuk segi tiga berderet (repetisi), walaupun tidak memiliki makna yang signifikan namun eksistensinya sangat memberi apresiasi yang besar bagi masyarakat Bugis.

c.2. Ornamen Pola Hias Organis dan Inorganis Organis menurut Guntur (2004: 27) adalah jenis ornamen yang dalam tampilan-tampilannya menggunakan elemen-elemen atau organ-organ hayati, baik yang berasal dari tanaman, binatang, maupun manusia.

Oleh karena ornmen organis memiliki motif hias yang mencitrakan objek-objek yang terdapat di alam, maka jenis ornamen ini banyak dijumpai pada berbagai objek dari banyak tempat dan dari berbagai kurun waktu.

Jenis tanaman tertentu di suatu daerah tertentu menjadi inspirasi perwujudan ornamen yang karakteristik.

Selanjutnya inorganis adalah perwujudan ornamen yang bersumber dari fenomena alam yang tidak hidup (nirhayati), yaitu tampak seperti, awan, bintang, bulan, matahari, sungai, karang dan lainlain.

Motif hias organis yang diaplikasikan pada ornamen makam umumnya berpola hias jenis tumbuh-tumbuhan, atau yang biasa disebut dengan motif flora, menurut Van Der Hoop (1949) bahwa dalam zaman prasejarah Indonesia tidak terdapat ornamen tanaman, tetapi kemudian, di zaman pengaruh Hindu yang datang dariIndia, ornamen tumbuh-tumbuhan menjadi sangat umum dan sejak ini pula menjadi bagian yang utama dalam dunia ornamentasi di Indonesia (Sunaryo, 2009:153).

Penggambaran motif yang mengacu pada tumbuhan oleh Guntur (2004) juga mempunyai fungsi sakral atau simbolik.

Fungsi sakral atau simbolik yang melekat pada ornamen dalam rupa tumbuhan dilatari oleh konsepsi atau pandangan suatu masyarakat terhadap jenis-jenis tumbuhan tertentu.

Jenis motif tumbuhan adalah jenis motif yang banyak diaplikasikan dalam pola hias disetiap daerah, tidak terkecuali pada daerah Bugis, khususnya pada ornamen makam.

Motif hias tumbuhan adalah motif yang paling banyak digunakan pada ornamen makam, biasanya pada tiap-tiap daerah menggambarkan jenis tanaman yang banyak terdapat di lingkungan sekitarnya, sebab disesuaikan dengan konsep atau pandangan masyarakat stempat, sehingga pada umumnya akan melahirkan interpretasi yang berbeda-beda.

Motif hias tumbuhan merambat adalah motif hias yang sangat populer sebab disetiap ruang selalu dihiasi dengan jenis tumbuhan merambat, dan banyak digunakan sebagai motif selingan atau isian.

Motif tumbuhan yang terdapat pada ornamen makam umumnya telah mengalami stilisasi seperti menjadi tumbuhan bunga parenreng (sulur), sehingga motif dan polanya terkesan dekoratif seperti bunga teratai, bunga lodung atau colli’pakue, bua pandang, dan bunga panasa.

Stilisasi motif atau pola yang direpresentasikan pada ornamen makam di kompleks makam adalah implementasi ekspresi kesenian dengan cita rasa budaya Bugis yang melahirkan karakter.

Untuk itu dipertegas oleh Guntur (2004) bahwa ornamen yang dihasilkan oleh masyarakat di suatu tempat dan kurun waktu tertentu menunjukkan ciri khas yang berbeda dengan masyarakat dari tempat dan waktu lain.

Selain itu, ornamen yang dikreasikan oleh masyarakat dari suatu tempat dan waktu tertentu berbeda antara satu dan lainnya.

i) Ornamen Motif Hias Bunga Tanri adalah pola hias organis jenis tumbuhan tanri (teratai) yang digambarkan dengan berbagai pola dengan bentuk yang beragam

ii) Ornamen Motif Hias Bunga Parenreng adalah sejenis tumbuhan merambat seperti sulursuluran, dan tergolong pola organis.

iii) Ornamen Motif Hias Bua Pandang (Buah Nenas) adalah jenis motif organis, yaitu tumbuhan jenis buah nenas yang digambarkan dengan buah yang selalu menghadap ke atas dengan daun yang menjuntai di samping kiri dan kanannya.

iv) Ornamen Motif Hias Lodung (Colli’Paku) adalah jenis motif hias berbentuk tumbuhan paku yang setiap ujungnya selalu menunduk dan melingkar.

v) Ornamen Motif Matahari adalah jenis ornamen pola inorganis yaitu rangakaian garis lurus dan lengkung yang berbentuk pola matahari

vi) Ornamen Motif Bintang adalah jenis ornamen pola inorganis, yaitu berupa rangkaian garisgaris yang membentuk bintang.

c.3. Ornamen Pola Hias Kaligrafi Setelah mengalami sejumlah proses akulturasi seiring dengan sosialisasi Islam di Nusantara, Islam telah mencapai tahapan perkembangan yang sedemikian rupa, yang berlanjut dengan tumbuhnya pusat-pusat kebudayaan Islam.

Dilihat dari segi kebudayaan Islam, Islam di Indonesia telah memberi sumbangsih dalam memperkaya anasiranasir budaya asli Indonesia yang kemudian menjadi budaya Nasional (Ambary, 1993:5).

Kaligrafi merupakan tulisan indah atau seni tulis-menulis. Sesungguhnya kaligrafi tidak terbatas pada aksara Arab, tetapi dalam pengertian khusus biasanya dikaitkan dengan khat (kaligrafi bertuliskan Arab) sebab kaligrafi, aksara serta bahasa Arab merupakan salah satu konstribusi Islam terhadap entitas budaya di Indonesia, khususnya pada wilayah suku bangsa Bugis.

Menurut Ambary (2000) data arkeologi mengenai kaligrafi Islam Nusantara terutama bersumber pada bukti-bukti epigrafi, dan lebih khusus lagi, epigrafi yang terdapat pada makam-makam kuno.

Menurut Baetal Mukaddas Kaligrafi merupakan salah satu jenis karya seni rupa dengan menekankan keindahan yang terdapat pada bentuk-bentuk huruf sehingga mengalami stilasi atau digayakan untuk mendapatkan nilai estetika.

Maka dari itu kaligrafi dijadikan sebagai sarana pemuasan kebutuhan estetik juga sebagai sarana da’wah yang paling efektif bagi umat Islam dalam menjalankan syiar Islam.

Untuk itu eksistensi kaligrafi pada masa pertumbuhan Islam seperti wilayah Bugis di abad ke XVII merupakan da’wah, yaitu salah satu upaya masyarakat Bugis dalam menyiarkan Islam secara fundamental (wawancara, 16 Februari 2013).

Abay D. Subarna (2007:66) menambahkan bahwa sebagai komponen kaligrafi, aksara memiliki fungsi spiritual, praktis, dan estetis.

Meskipun motif hias kaligrafi sudah lama ada, tetapi motif hias ini menjadi berkembang seiring dengan berkembangnya kebudayaan Islam di Nusantara.

Teristimewa kaligrafi Arab, tidak sekedar menjadi unsur estetis melainkan juga mengandung pesanpesan agama yang biasanya diambil dari Al Quran dan Hadits.

Eksistensi kaligrafi Arab atau epigrafi pada batu nisan merupakan peninggalan seni rupa Islam di Indonesia yang paling menonjol jika dibandingkan dengan bentuk peninggalan seni rupa Islam lainnya.

Motif hias kaligrafi Arab paling tua di Nusantara ditemukan pada batu-batu nisan pada abad ke XII. Pada mulanya batu nisan yang berhiaskan kaligrafi Arab didatangkan dari luar, dalam gaya India Barat berikut bahan dari batu pualamnya, Dalam pertumbuhan dan perkembangannya kemudian, kaligrafi menjadi salah satu karya kesenian Islam yang sangat penting (Subarna, 1986:22).

Bahkan di Indonesia menjadi salah satu pola hias utama pada bangunan suci, termasuk pada batu-batu nisan bersama-sama dengan ornamennya.

Pada kompleks makam raja-raja Bugis, baik yang terdapat di Kabupaten Bone maupun di Kabupaten Soppeng, ornamen kaligrafi dijadikan sebagai motif utama, kemunculan kaligrafi diperkirakan seiring dengan usia makam tersebut, yaitu pada abad ke XVII. Perpaduan antara motif-motif kaligrafi dan geometris serta organis pada makam menjadikan perpaduan integrasi karya yang sangat dinamis dan harmonis.

Kajian mengenai epigrafi pada ornamen makam di kompleks makam raja-raja Bugis, terutama ditinjau dari data verbal (inskripsi) tersebut, maka ornamen makam dapat dikategorikan atas

(1) tulisan dengan kalimat Syahadat, yakni pengakuan terhadap Allah S.W.T.,

(2) tulisan dengan kalimat dzikir,

(3) tulisan dengan kalimat Allah (Ismul Jalalah), dan

(4) tulisan yang bersifat do’a.

Ketiga kalimat yang terdapat pada ornamen makam tersebut dikategorikan ke dalam kalimat tauhid, yaitu kalimat kesaksian yang memiliki keutamaan sangat besar.

Kalimat-kalimat tauhid seperti itu, cukup banyak ditemukan pada makam-makam kuno di Sulawesi Selatan, yakni diwujudkan sebagai elemen estetis pada struktur makam, seperti nisan, jirat dan gunungannya.

Untuk menelusuri makna esensial mengapa keberadaan kalimat-kalimat tauhid diaplikasikan pada ornamen makam, maka sebelumnya perlu dipahami makna hakikinya, yaitu pada pembahasan yang mengurai makna filosofi ornamen makam pada bab berikutnya.

  • 1) Motif Kalimat Syahadat adalah jenis kaligrafi arab yang berlafadskan kalimat syahadat, yaitu pengakuan terhadap keEsaan Allah dan kalimat yang berkaitan dengan persaksian terhadap rasulullah.
  • 2) Motif Kalimat Dzikir adalah jenis kaligrafi berupa puji-pujian yaitu suatu cara atau media untuk menyebut dan mengingat nama Allah, jadi semua bentuk kaligrafi yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah dinamakan kalimat dzikir.
  • 3) Motif Kalimat Allah (Ismul Jalalah) adalah jenis tulisan kaligrafi arab yang berlafadzkan kalimat Allah.
  • 4) Motif Kalimat Muhammad adalah jenis kaligrafi dengan pola kalimat Muhammad, yaitu Rasulullah, seseorang sebagai utusan Allah.
  • 5) Motif Kalimat Do’a adalah motif kaligrafi dengan pola-pola doa yaitu berupa harapan-harapan bagi si penghuni kubur.

2. Fungsi Ornamen Makam Pentingnya fungsi sosial kesenian bagi kehidupan suatu masyarakat, maka tidak mengherankan kalau di dunia ini tidak ada suatu masyarakat yang tidak mengembangkan kesenian.

Walaupun fungsi pokok kesenian pada mulanya sekedar sarana untuk membebaskan seseorang dari ketegangan dengan cara mengungkapkan perasaan dan pemikiran secara objektif.

Dalam perkembangannya, ia mampu menanggung fungsi sebagai sarana membangkitkan kepekaan pengertian dan mengandung tanggapan emosional, yang dapat membina keseimbangan hidup perorangan maupun kolektif.

Kesenian tidak hanya penting bagi sarana ungkapan dan pernyataan perasaan serta pemikiran perorangan, tetapi juga sebagai sarana ungkapan dan pernyataan kolektif yang mengandung pesan-pesan kebudayaan (Budhisantoso, 1994:9-10).

Salah satu sarana ungkapan dan pernyataan kolektif yang holistik diciptakan oleh masyarakat pendukung kebudayaan masa lalu adalah eksistensi ornamen makam, termasuk di dalamnya adalah fungsi ornamen di kompleks makam raja-raja Bugis.

Ornamen makam adalah produk kesenian masa lampau maka pendekatan analisisnya diarahkan pada pendekatan estetika arkeologi.

Ada hal mendasar yang sangat prinsipil dalam estetika arkeologi untuk dapat membangun eksplanasi secara holistik. Sebab substansi kajiannya mengarah pada benda-benda artifisial atau karya seni peninggalan purbakala.

Untuk itu penelusuran nilai estetika pada ornamen makam adalah untuk menggali makna yang mengendap dibalik sebuah karya.

Sebab seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa lahirnya karya seni tidak hanya untuk pemuasan hasrat keindahannya saja, namun lebih dari itu mengandung makna yang tersirat dibalik nilai artistiknya.

Menurut pendapat R. Sieber (1962:653) ada dua aspek kesenian yang perlu diperhatikan, yaitu konteks estetika dan makna.

Estetika atau penyajiannya yang mencakup bentuk (form) dan keahlian yang melahirkan gaya.

Selanjutnya konteks makna (meanings), yang mencakup pesan dan kaitan lambang-lambangnya (symbolic value).

Dalam rangka kedua konteks inilah pendekatan masalah kesenian hendaknya dipahami. (Budhisantoso, 1994:3).

Ornamen makam di kompleks makam raja-raja Bugis berdasarkan wujud dan karakternya adalah ciri sebuah artefak peninggalan megalitik yang berlanjut (berkembang).

Motif-motif artefak, baik yang berbentuk goresan, relief, dan arca megalitik, ada yang masih berlanjut dan tidak berlanjut.

Sedangkan konsep obyek estetik megalit digolongkan dalam tiga bagian yaitu: sakral, semi sakral, dan profan (Edy Sedyawati (1987:64).

Selama karya seni difungsikan di luar upacara, semuanya hanya punya nilai profan, meskipun memiliki simbol-simbol religi.

Untuk mengetahui apakah simbol-simbol seni masih punya makna kosmologis-religius cukup sulit dalam fenomena seni “tradisional” sekarang. Orang sudah tidak tahu “apa yang harus” dan “apa yang tidak boleh”.

Kadang manusia mencampur adukkan saja mana yang harus, dan mana yang tabu. Pola-pola seninya juga seenaknya bagi keperluan moderennya, yakni demi estetika belaka.

Dalam budaya religi, bendabenda (alam maupun buatan), ruang dan waktu bahkan pelaku, tidak mempunyai nilai yang sama, Ada ruang profan, semi sakral, dan sakral (Jacob Sumardjo, 2006:95) Ornamen sebagai mana fungsi dasarnya adalah sebuah elemen yang sengaja dihadirkan untuk memperindah ruang kekosongan pada sebuah barang atau benda, kemudian menjadi sebuah karya seni artifisial yang menarik dan indah.

Seiring dengan eksistensinya, ornamen tidak hanya dijadikan sebagai elemen untuk memperindah saja, tetapi juga memiliki fungsi lain seperti untuk dijadikan sebagai tempat pemujaan dan sebagai sarana penyampaian informasi atau sistem simbol yang dijadikan sebagai sarana komunikasi bagi masyarakat pendukung kebudayaannya.

Untuk itu dalam kaitannya dengan estetika arkeologi maka berikut ini diuraikan fungsi ornamen pada makam di kompleks makam raja-raja Bugis, seperti;

  • (1) Fungsi Sakral.
  • (2) Fungsi Semi Sakral, dan
  • (3) Fungsi Profan.

1. Ornamen dengan Fungsi Sakral Dalam pembahasan tentang fungsi sakral ornamen perlu dibicarakan aspek kehidupan spiritual (spiritual live) masyarakatnya.

Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa latar kehidupan spiritual tidak hanya memiliki pengaruh besar terhadap aktifitas ritual, tetapi berpengaruh pula terhadap instrumen penyertanya.

Berkaitan dengan hal itu, ornamen sebagai instrumen penyerta praktik ritual menjadi hal pokok bagi masyarakat.

Ornamen yang menggambarkan berbagai bentuk atau figure ditujukan untuk kepentingan sakral dan upacara keagamaan.

Terdapat pandangan bahwa segala sesuatu berkaitan dengan segala sesuatu yang lain, medium dari kesatuan mistik ini adalah kekuatan yang hidup disebut mana.

Pada masa prasejarah terdapat pandangan umum yang mempercayai adanya kekuatan adikodrati.

Pada lingkup kehidupan mitologis itu, seperti yang diklasifikasikan oleh Peursen, tidak ada pemisah yang jelas antara manusia dan dunia, antara subjek dan objek, menusia dan alam raya saling meresapi sehingga kekuatan manusiawi dan ilahi saling melebur (Guntur, 2004:56).

Untuk itu dapat disimpulkan bahwa dikatakan sebagai ornamen yang memiliki fungsi sakral ketika pola ornamen tersebut memiliki keterkaitan dengan konsepsi ketuhanan.

Atau ornamen yang polanya menjadi motif utama dapat dikategorikan sebagai ornamen dengan fungsi yang sakral.

Dalam kompleks makam raja-raja Bugis ornamen yang tergolong dalam fungsi sakral adalah Motif yang ditempatkan pada nisan makam seperti Sulapa eppa, Bunga Tanri, dan semua ornamen motif kaligrafi (kalimat syahadat, dzikir, Ismul Jalalah, dan doa).

2. Ornamen dengan Fungsi Semi Sakral Disebut sebagai fungsi semi sakral jika berhubungan antara manusia dengan alam dan yang berhubungan dengan roh nenek moyang.

Misalnya, kepercayaan terhadap kekuatan alam yang mengarahkan manusia untuk berlaku harmonis terhadap alam.

Menurutnya bahwa segala sesuatu yang ada di alam pada dasarnya memiliki kekuatan tertentu, olehnya, upaya untuk itu dilakukan dengan berbagai cara.

Ritus-ritus yang diselenggarakan ditujukan untuk menghindari disharmoni dan untuk menyelaraskan kehidupan.

Menurut Guntur (2004) cerita tentang asal-usul nenek moyang dibangun untuk mendapatkan “legitimasi” bahwa manusia adalah bagian dari roh nenek moyang yang telah meninggal sehingga tidak mengganggu kehidupan yang dijalaninya.

Banyak mitos yang diciptakan untuk mengabsahkan asalusul manusia dari roh nenek moyangnya. Secara leksikal mitos, yang merupakan kata serapan dari myth atau mythos, di antaranya diartikan cerita yang disampaikan secara turun temurun dari zaman nenek moyang tentang keyakinan lama suatu ras (suku bangsa), terutama penjalasan-penjelasan tentang peristiwa alam.

Dalam upaya berpartisipasi pada alam sekitar dan menanggapi daya kekuatan alam, manusia melakukan serangkaian-serangkaian upacara untuk menciptakan harmonisasi kehidupan.

Upacara atau ritus adalah tindakan-tindakan simbolis yang mengkonsolidasikan manusia atau memulihkan tata alam sehingga manusia dan tindakannya mempunyai tempat dalam tata alam tersebut (R.Subagia, 1981:116).

Untuk itu dapat disimpulkan bahwa ornamen dengan fungsi semi sakral adalah ornamen yang polanya menjadi motif selingan, atau menjadi penghias pola ornamen.

Dalam kompleks makam raja-raja Bugis ornamen yang tergolong dalam fungsi semi sakral adalah motif yang memiliki fungsi sebagai penghias bentuk dan banyak ditempatkan pada jirat dan gunungan makam seperti Bunga Tanri, Bua Pandang, Belo-belo Massulapa, dan motif inorgania (matahari dan bintang).

3. Ornamen dengan Fungsi Profan Fungsi profan pada motif dalam pembahasan ini lebih ditekankan pada peran motif sebagai eleman estetik atau unsur hias pada suatu objek.

Motif sebagai unsur hias berfungsi sebagai elemen pemikat perhatian atau elemen yang menggugah perasan indah.

Pandangan ini juga menempatkan motif secara formalistik sebagai bagian dari keseluruhan motif itu sendiri dan juga pengaplikasiannya pada objek yang dihiasi.

Ornamen berkedudukan sebagai elemen dekorasi terhadap obyek-obyek yang dihiasi. Dengan demikian, ornamen menjadi bagian dari permasalahan desain dokoratif, yaitu suatu elemen dekorasi yang dirancang untuk memperindah objek dengan tujuan untuk mendukung tampilan struktural objek atau desain strukturalnya.

Ornamen makam di kompleks makam raja-raja Bugis banyak juga dijumpai ornamen yang hanya memiliki fungsi profan sebab banyak dihiasi dengan bermacam-macam elemen dekorasi yang tidak bersangkut paut dengan kebutuhan-kebutuhan yang bersifat sakral.

Dalam kompleks makam rajaraja Bugis ornamen yang tergolong dalam fungsi profan adalah Motif yang hanya terlihat sebagai penghias motif atau sebagai motif isian, dan ditempatkan pada setiap struktur makam (jirat, nisan dan gunungan) seperti misalnya Sulapa eppa pola berderet, Bunga Tanri pola berderet, Belo-belo Cidu, Bua Pandang, dan Bunga Parenreng.

C. Makna Ornamen Makam Mencari makna dan nilai maka orientasinya akan mengarah pada kata filsafat, perkataan filsafat berasal dari bahasa Yunani philosophia dan berarti cinta kearifan (The Love of Wisdom) (Dharsono, 2019:4).

Untuk itu salah satu tujuan filsafat adalah mencari kebenaran atau hakikat segala sesuatu yang ada.

Filosofi adalah ilmu yang menjadi penuntun untuk pelaksanaan atas pemahaman yang menjadi keyakinan setiap individu maupun kelompok.

atau filosofi juga bisa dikatakan sebagai kebenaran yang diperoleh melalui berpikir logis, sistematis, dan metodis.

Falsafah hidup secara fundamental, dipahami sebagai nilai-nilai sosio kultural yang dijadikan oleh masyarakat pendukungnya sebagai pola atau patron dalam beraktivitas keseharian (Ahmadin, 2008:35).

Nilai normatif tersebut masih melekat pada masyarakat Bugis yang implementasinya menjadi roh atau spirit dalam menentukan pola pikir dan menstimulasi tindakan dalam bermasyarakat.

Dalam tradisi dan budaya masyarakat Bugis nilainilai merupakan pemicu, etos kerja, watak, kepribadian atas adanya etika yang ditopang oleh budaya dan adat serta panngaderreng sebagai pandangan hidup untuk mencari kesempurnaan.

Budaya adat ini masih terpelihara dan menjadi titik sentral kebudayaan masyarakat Bugis, pada hakekatnya menjangkau semua aspek kehidupan manusia.

Bentuk ornamen di kompleks makam raja-raja Bugis, seperti yang dijelaskan sebelumnya di atas mengaplikasikan jenis ornamen pola geometris, pola organis dan inorganis serta pola kaligrafi.

Pola geometris terdiri dari motif sulapa eppa’, belo-belo cidu’ dan lodung atau colli’paku, sedangkan pada pola organik dan inorganik seperti motif tumbuhan (flora) yang terdiri dari motif teratai, parenreng, colli’paku, bunga panasa, pola alam terdiri atas motif matahari dan motif bintang, serta motif kaligrafi yang terdiri atas motif dengan kalimat tauhid, motif kalimat dzikir, motif kalimat Allah dan Muhammad serta motif kalimat doa.

1. Ornamen Motif Hias Sulapa eppa’ Motif hias Sulapa eppa’ adalah jenis ornamen berpola segi empat belah ketupat. Segi empat adalah suatu istilah dengan sistem pengetahuan atau bisa juga disebut filsafat hidup orang Bugis.

Sulapa eppa’ merupakan dasar pandangan mitologis terhadap makrokosmos orang Bugis dalam memandang alam raya ini sebagai sulapa eppa’ walasuji (segi empat belah ketupat).

Oleh Suriadi Mappangara (2007:458) dijelaskan bahwa sulapa eppa’ model kosmos yang dihubungkan dengan adanya empat sarwa alam, yaitu: udara, air, api, dan tanah yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia.

Untuk itu orang yang telah mengetahui pengetahuan tersebut dianggap orang yang sempurna.

Adapun keempat ilmu tersebut adalah

  • (1) ilmu surat, yaitu ilmu yang berhubungan dengan baca tulis,
  • (2) ilmu syariat, yaitu ilmu agama yang erat hubungannya dengan dunia akhirat,
  • (3) ilmu silat, yaitu ilmu bela diri dan ilmu magic, dan
  • (4) ilmu yang menggunakan tenaga alam.

2. Ornamen Motif Hias Belo-Belo Cidu’ Motif hias belo-belo cidu’ (tumpal) memiliki makna sebagai simbol keteguhan (agettengeng), yaitu sebagai makna persatuan dan kekuatan, fungsinya hanya bersifat profan, untuk itu oleh orang Bugis menyebutnya belo-belo cidu’.

Bentuknya yang kaku sehingga eksistensinya terlihat kontras dengan ornamen-ornamen lainnya, dan hanya menghiasi jirat dan gunungan makam saja, yaitu pada posisis utara dan selatan makam.

3. Ornamen Motif Hias Belo-belo Massulapa Makna dalam motif hias Belo-belo Massulapa hampir sama dengan motif Sulapa eppa, Namun dalam visualisasinya Belo-belo Massulapa adalah bunga yang distilasi berbentuk segi empat.

Konsep suku Bugis, asal manusia berasal dari empat unsur yakni tanah, air, api, dan angin. Keempat unsur tersebut yang merupakan pembentuk manusia sempurna.

Bila dikaitkan dengan empat penjuru mata angin, maka manusia hidup pada satu tempat dengan empat penjuru mata angin seperti utara, timur, selatan, dan barat.

4. Ornamen Motif Hias Bunga Tanri Motif hias bunga tanri atau bunga teratai dimaknai oleh masyarakat Bugis sebagai simbol kesucian yang melahirkan banyak interpretasi berdasarkan di mana motif ditempatkan dan di daerah mana keberadaannya.

Dari pemaparan A. Kahar Wahid menjelaskan bahwa Bunga tanri atau teratai memang bukan tipe bunga yang harum semerbak, tetapi eksistensinya mampu membuat orang terkesima dengan pesonanya, menoleh dan memperhatikan.

Tidak peduli hidupnya di mana gedung mewah atau di kubangan lumpur belantara, tetaplah akan memberi kesan mendalam bagi yang melihatnya.

Bunga teratai juga merupakan bunga yang tak pernah “mati” saat kemarau melingkupi bumi, dia tetap hidup dalam umbinya, terpuruk dalam tanah kering kerontang.

Tetapi begitu hujan datang, kuncup bunga akan segera mekar ditengah hijau dedaunan. Untuk itulah mengapa bunga tanri dianggap sebagai bunga yang memiliki makna filisofi yang baik, terutama bagi kalangan masyarakat Bugis yang melahirkan banyak tafsir terhadap eksistensi bunga teratai, namun intinya bahwa teratai mekar dengan membawa kesucian dan kemurnian bunganya. (Wawancara 21 Maret 2013).

Untuk itu motif ornamen dengan jenis bunga Tanri banyak diaplikasikan pada ornamen makam dengan beragam bentuk, yaitu bentuk yang telah distilasi atau di integrasikan dengan jenis motif lainnya.

5. Ornamen Motif Hias Lodung (Colli’Paku) Motif lodung ini dijelaskan bahwa bagi kalangan masyarakat Bugis dianggap sebagai simbol harga diri (siri’ na pesse), yaitu sebagai sikap kesabaran dan sifat selalu tunduk, taat dan merendahkan diri.

Dalam ajaran Islam disebut tawaddhu dengan makna dan arti yang sama, yaitu tunduk, taat dan merendah.

6. Ornamen Motif Hias Bunga Parenreng Motif hias tanaman menjalar dianggap sebagai perlambangan pohon hidup, dalam konsep kosmologis masyarakat Bugis menamakannya bunga parenreng.

Bunga parenreng oleh masyarakat Bugis mempunyai arti bunga yang menarik.

Hidupnya yang melata, dan dapat menjalar kemana-mana tanpa dapat diketahui di mana ujung pangkalnya, sehingga dipandang sebagai tanaman yang memiliki nilai yang baik

7. Ornamen Motif Hias Bua Pandang (Buah Nenas) Motif bua pandang atau umumya disebut buah nenas adalah tanaman yang dianggap memiliki keistimewaan. Buah ini di samping memiliki rasa yang manis, buahnya selalu menghadap ke atas.

Pada bagian samping buah, keluar daun yang mirip orang yang sementara berdoa, sehingga tanaman ini oleh orang Bugis disebutnya tanaman mamminasa (tanaman yang selalu berdoa untuk kebaikan).

Kehadiran motif ornamen bua pandang di kompleks makam diharapkan agar penghuni kubur tetap mendapatkan doa dan amalan yang baik sekalipun sudah meninggal sehingga selalu tetap diterima disisi-Nya.

8. Ornamen Motif Matahari Keberadaan motif hias jenis matahari dipandang hanya berfungsi sebagai profan semata, namun sekalipun hanya berfungsi sebagai penghias semata, namun bagi masyarakat Bugis menganggap bahwa matahari adalah sumber cahaya terbesar bagi bumi dan mengaplikasikan motif matahari pada makam misalnya dapat diyakini bahwa dimasa hidupnya si mati dipandang sebagai orang yang menjadi tauladan dalam masyarakatnya.

9. Ornamen Motif Bintang Bintang adalah benda langit yang bercahaya, tinggi, dan terpandang.

Terkesan tampak lebih mulia dibandingkan benda langit lainnya.

Ia menjadi mulia karena cahayanya tidak hanya untuk dirinya sendiri.

Ia mulia karena bercahaya untuk menerangi seluruh alam.

Bintang bercahaya dengan cahayanya sendiri, bintang juga yang membuat bulan bercahaya di malam hari dan bumi terang di sebelah sisinya.

Dengan adanya bintang ini, kita lalu mengenal siang dan malam.

Satu dari bintang ini yang kemudian kita mengenalnya dengan nama matahari.

Bintang yang jaraknya terdekat dengan bumi.

Bintang dipandang memiliki pengaruh terhadap kehidupan manusia, umumnya bintang banyak digunakan sebagai lambang-lambang kelahiran.

Oleh karena itu, dalam perbintangan dilambangkan dengan beraneka bentuk umumnya sejenis bintang, yang dapat dijadikan motif hias.

10. Ornamen Kalimat Tauhid (syahadatin) Kalimat Syahadat adalah kalimat persaksian atau pengakuan seseorang terhadap ketauhidan (keesaan) Allah, Kalimat syahadat menurut Ust. M. Syahputra (2011:33) adalah merupakan kalimat yang sangat besar kedudukannya di dalam Islam.

Ia merupakan pintu gerbang Islam sekaligus sebagai identitas seorang Muslim yang asasi.

Ornamen kaligrafi dengan motif kalimat Tauhid adalah jenis ornamen dengan fungsi sakral sebab selain keterkaitan dengan konsep ketuhanan ornamen ini juga umumnya menjadi motif utama pada ornamen makam di kompleks makam rajaraja Bugis.

11. Ornamen Kalimat Dzikir. Motif kalimat dzikir dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Hadits, di antaranya membuat hati menjadi tenang dan tenteram, membuat diri dekat kepada Allah, membuat diri dan agamanya dilindungi dari hal-hal yang merusak, dan menggantikan kewajiban yang tidak mampu dikerjakan.

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa orang yang senantiasa bedzikir (mengingat) Allah, akan menjadi dekat kepada Allah, sehingga ia akan selalu dijaga oleh Allah dari hal-hal yang menyesatkan.

Motif kaligrafi kalimat dzikir pada makam semuanya menjadi motif utama pada ornamen makam, yang menandakan bahwa kalimat dzikir adalah jenis ornamen yang berfungsi sakral.

12. Ornamen Kalimat Allah (Ismul Jalalah) Ismul jalalah (Allah) adalah kalimat yang mengandung pengertian bahwa sesugguhnya segala bentuk kekuasaan adalah milik Allah S.W.T..

Sesuai firman-Nya, Allah adalah sebuah nama untuk wujud sejati, wujud yang mempersatukan sifat-sifat Ilahiah, wujud yang menunjukkan subyek sifat ketuhanan.

Allah adalah nama yang paling agung diantara sembilan puluh sembilan nama Allah yang menunjukkan esensi yang mempersatukan segala sifat Ilahiah (Al-Ghazali, 2000: 69-70).

13. Ornamen Kalimat Doa Doa bukan sekedar media untuk memenuhi kebutuhan dan mencurahkan segala problematika yang dihadapi.

Dalam Islam, doa memiliki kedudukan yang penting dan agung, sehingga setiap nafas dan gerak langkah kita harus diiringi dengan doa-doa. Setiap manusia, laki-laki maupun perempuan, kaya atau miskin, tua atau muda, raja atau rakyat, saudagar atau buruh, selalu dianjurkan untuk berdoa.

Dengan demikian seperti disebutkan sebelumnya bahwa kaligrafi atau tulisan yang bersifat doa, merupakan rangkaian dari kalimat syahadat dan dzikir, yakni sebagai kalimat permohonan doa dan perlindungan dari Allah S.W.T. Sayidina Aqasah berpendapat bahwa do’a itu otaknya ibadah, karena itu, do’a yang dituliskan pada nisan kubur dapat dimaknai sebagai simbol akidah Islam.

D. Simpulan Ornamen makam kuno Raja-raja Bugis adalah salah satu produk kesenian dan aset kekayaan kebudayaan masyarakat Bugis dari masa lampau. Secara morfologis ornamen memiliki karakteristik yang spesifik, unik dan sederhana.

Sesungguhnya ornamen memiliki kaitan yang erat dengan sejumlah gagasan atau ide serta perilaku masyarakat sehingga eksistensinya diyakini sebagai ekspresi masyarakat Bugis dalam merepresentasikan nilai-nilai kebudayaannya. 

Penelusuran nilai estetika pada bentuk dan fungsi ornamen makam adalah untuk menggali makna yang mengendap di balik sebuah karya.

Untuk itu dijelaskan bahwa lahirnya karya seni tidak hanya untuk pemuasan hasrat keindahannya saja, namun lebih dari itu mengandung makna yang tersirat di balik nilai artistiknya.

Secara filosofis, bangunan makam kuno Raja-raja Bugis merupakan ekspresi budaya bangsa yang sarat dengan nilainilai filosofis serta simbol-simbol estetis yang diapresiasikan pada jirat, nisan dan gunungan makam melalui lambang-lambang tarekat, tauhid, akidah islamiyah serta simbolisasi budaya.

Pandangan kosmologis masyarakat suku Bugis menganggap bahwa makrokosmos (alam raya) ini bersusun tiga tingkat yaitu: Boting langi’ (dunia atas), Ale kawa (dunia tengah), Uri’ Li’yu’ (dunia bawah).

Sebagai pusat dari ketiga bagian alam raya ini ialah Boting langi’ (langit tetinggi) tempat Dewata SeuwaE (Tuhan Yang Maha Esa) bersemayam.

Pandangan ini yang menjadi elemen utama dalam membangun ide serta gagasan kreatif sehingga terwujudnya bentuk-bentuk bangunan makam termasuk ornamentasi di kompleks makam raja-raja Bugis.